2016

Home » Blog » 2016 » Memahami Manajemen Sistem Menggunakan Pendekatan Taksonomi Bloom

31-01-16

Memahami Manajemen Sistem Menggunakan Pendekatan Taksonomi Bloom



  • Bahasa Indonesia
  • English

Oleh: Vincent Gaspersz,
Lean Six Sigma Master Black Belt (Praktisi Teknik Sistem dan Manajemen Industri),
APICS CFPIM (Certified Fellow in Production and Inventory Management),
CSCP (Certified Supply Chain Professional),
ASQ CMQ/OE (Certified Manager of Quality/Organizational Excellence),
CQE (Certified Quality Engineer),
CQA (Certified Quality Auditor),
CSSBB (Certified Six Sigma Black Belt),
Exemplar Global (RAB-QSA),
CMSP (Certified Management System Practitioneer)

 

Taksonomi Bloom yang diperbaharui (2001) membagi level pembelajaran ke dalam enam tingkat di mulai dari yang paling rendah sampai paling tinggi, yaitu: (1) Mengingat (Remembering), (2) Memahami (Understanding), (3) Menerapkan (Applying), (4) Menganalisis (Analyzing), (5) Mengevaluasi (Evaluating), dan (6) Menciptakan (Creating). Level 1 dan 2 sering dikategorikan sebagai Lower Level Thinking Skills, sedangkan Level 3, 4, 5, 6 dikategorikan sebagai Higher Level Thinking Skills.

Menggunakan pendekatan Taksonomi Bloom di atas, maka manajemen sistem dapat juga dibagi ke dalam tiga tahap, yaitu: (1) Desain Sistem berdasarkan konsep-konsep dan teori sistem (Level 1: Mengetahui Teori Sistem dan Level 2: Memahami Teori Sistem), (2) Implementasi Sistem (Level 3: Menerapkan Sistem, Level 4: Menganalisis Sistem, Level 5: Mengevaluasi Sistem), dan (3) Perbaikan Sistem (Level 6: Meningkatkan Kinerja Sistem/Mendesain Ulang Sistem/Menciptakan Sistem Baru, dll).

Seseorang yang hanya berada pada level 1 dan 2 dari Taksonomi Bloom meskipun yang bersangkutan telah membaca dan memahami 100-an buku tentang Manajemen Sistem NAMUM belum pernah menerapkan manajemen sistem (Tahap 2 dari Manajemen Sistem) tidak layak dianggap memiliki kompetensi dalam manajemen sistem. Konsekuensinya yang bersangkutan seumur hidup HANYA memahami teori-teori tentang manajemen sistem saja. Seorang profesor doktor sekalipun jika TIDAK pernah melewati tahap 2 yaitu Implementasi Manajemen Sistem PASTI tidak akan memiliki kompetensi dalam Aplikasi, Analisis, dan Evaluasi terhadap manajemen sistem. Tentu saja tidak mungkin akan mencapai tahap perbaikan manajemen sistem (Tahap 3: Perbaikan Sistem) yang merupakan Level tertinggi dalam pembelajaran menurut Taksonomi Bloom.

Dalam Bagan Terlampir ditunjukkan bahwa mengetahui dan memahami teori apapun (Level 1 dan 2 dari Taksonomi Bloom) akan percuma, jika teori-teori itu HANYA diulang-ulang dan diturunkan dari generasi satu ke generasi berikut yang masih banyak terjadi di dunia perguruan tinggi di Indonesia, di mana para dosen HANYA berorientasi pada tugas membaca dan mengajarkan buku-buku teks kepada mahasiswa. Suatu teori baru akan bermanfaat apabila teori itu diuji di lapangan melalui aplikasi teori itu (Level 3 Taksonomi Bloom), menganalisis relevansi teori itu menggunakan metodologi dan statistical thinking and tools (Level 4), mengevaluasi validitas teori itu (Level 5 Taksonomi Bloom), dan Menciptakan teori baru atau melengkapi teori yang ada sehingga menjadi up-to-date (Level 6 dari Taksonomi Bloom). Hal ini menjelaskan mengapa seorang dosen yang bergelut dalam penelitian-penelitian ilmiah memiliki kompetensi yang lebih tinggi daripada dosen yang bergelut dalam mengajarkan buku-buku teks saja.

Dalam Manajemen Sistem juga berlaku hal-hal di atas, di mana seorang PRAKTISI yang menerapkan sistem yang telah didesain berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori sistem, kemudian melakukan analisis, evaluasi, dan perbaikan kinerja sistem akan memiliki kompetensi yang jauh lebih unggul daripada mereka yang hanya memahami teori (PAKAR) saja. PRAKTISI di sini BUKAN ditujukan kepada mereka yang asal menerapkan manajemen sistem berdasarkan pendekatan “trial and error” TETAPI ditujukan kepada mereka yang mampu mendesain sistem berdasarkan konsep-konsep dan teori sistem, kemudian menerapkan dan memperbaiki kinerja dari manajemen sistem itu.

Demikian sekilas memahami manajemen sistem berdasarkan enam tahap pembelajaran dari Taksonomi Bloom.


Untuk tujuan pembelajaran dan berbagi pengetahuan serta pengalaman praktis, maka saya akan mengklarifikasi serta menjelaskan mengapa saya menggunakan pendekatan taksonomi Bloom dalam memudahkan penjelasan tentang manajemen sistem?

Dalam dunia praktek telah terbiasa kita menggunakan berbagai pendekatan untuk memudahkan dalam pemahaman atau penjelasan tentang sesuatu fenomena, meskipun seringkali hal itu menjadi tidak nyaman bagi para akademisi yang tidak bergelut dalam dunia praktek. Jangankan hanya sekedar keliru, sedangkan dengan konsep dan teori yang salah saja bagi praktisi akan terus dipraktekkan, karena praktisi meyakini bahwa meskipun menggunakan teori yang salah yang penting diterapkan dahulu, nanti perbaikan akan dilakukan setelah ada hasilnya. AFTA = Action First Talk After (PRAKTISI), NATO = No Action Talk Only (PAKAR).

Siapa yang menyangka bahwa metodologi Six Sigma yang sangat populer sekarang ini dibangun berdasarkan konsep dan teori statistika yang SALAH? Praktisi yang menerapkan pertama kali metodologi pengendalian statistikal six sigma di perusahaan Motorola menyatakan bahwa dengan pengendalian statistikal akan membuat kesalahan sebesar: 3,4 per satu juta kemungkinan (3,4 DPMO = 3,4 defects per million opportunities) padahal menggunakan konsep dan teori statistika yang benar seharusnya pengendalian statistikal six sigma (dengan asumsi-asumsi kurva normal STANDAR Z berlaku, yaitu: rata-rata populasi nol dan variance sebesar sigma-kuadrat) maka tingkat kesalahan seharusnya hanya: 0,002 dpmo (defects per million opportunities). Pada tahap awal kemunculan metodologi pengendalian statistikal Six Sigma ini sekitar akhir 1980-an terjadi banyak perdebatan dan ketidaksetujuan dari para pakar teori statistika, terutama terhadap asumsi yang diajukan praktisi bahwa terjadi pergeseran nilai rata-rata populasi menggunakan kurva normal STANDAR dari nol menjadi: plus-minus 1,5 sigma, sehingga menghasilkan 3,4 dpmo. Tambah ngawur lagi asumsi yang diajukan oleh para praktisi dan sampai sekarang pakar teori statistika TETAP tidak mau menerima metodologi pengendalian statistikal enam sigma. Mereka hanya mau menerima metodologi pengendalian statistikal 3-sigma saja.

Tetapi siapa yang peduli dengan argumen pakar dari dunia akademik yang hanya bergelut dengan teori-teori statistika TANPA berusaha membuktikan teori itu di lapangan karena TAKUT SALAH atau takut dikritik orang lain? Kita bisa lihat perkembangan metodologi Six Sigma yang sangat populer sekarang ini dengan masih menggunakan asumsi-asumsi yang SALAH. Mengapa demikian? Karena para praktisi hanya melihat manfaat ekonomis yang diterima sangat-sangat besar. Perusahaan General Electric sangat maju pesat di seluruh dunia karena menggunakan metodologi Six Sigma yang SALAH itu. Ribuan perusahaan dan jutaan orang TIDAK PEDULI dengan asumsi yang SALAH itu dan terus menggunakan konsep dan aplikasi yang dianggap “ngawur” karena menyatakan bahwa pengendalian statistikal enam sigma menghasilkan kesalahan 3,4 dpmo (asumsi-asumsi kurva normal standar SALAH) BUKAN 0,002 dpmo (asumsi-asumsi kurva normal standar benar).

Jika kita mengetik kata-kata kunci: produk-produk industri GAGAL yang sukses luar biasa (menggunakan google search) maka akan diketahui banyak sekali produk GAGAL yang berhasil spektakuler dalam pemasaran.

Jika kita memahami SDLC (System Development Life Cycle), maka tidak akan memperdebatkan tentang aplikasi kreativitas dalam pengembangan awal suatu sistem itu. SDCL terdiri dari serangkaian tahap, sebagai berikut:

  1. Initial Idea
  2. Feasibility study
  3. Requirements analysis
  4. Systems analysis
  5. Specification
  6. Systems design
  7. Development
  8. Testing
  9. Implementation
  10. Maintenance
  11. Review

Sumber: http://thedynamicdomain.com/systems-development-life-cycle.aspx

 

Untuk memudahkan pemahaman (meskipun mungkin dianggap ngawur), saya mengelompokan tahap 1-8 sebagai: tahap desain sistem (praktisi lain menggunakan terminologi pre-design, desain awal yang masih banyak kelemahan, dll), tahap 9-10 sebagai tahap implementasi sistem, dan tahap 11 sebagai tahap perbaikan sistem (review, redesain, dll). Tidak perlu takut salah untuk mereka yang bergelut dalam dunia praktek terutama manajemen sistem, karena ada mekanisme umpan-balik dalam sistem yang dikenal dengan tahap perbaikan (review, redesign, dll).

Taksonomi Bloom sendiri masih banyak dikritik orang TETAPI siapa yang peduli jika hal itu bisa digunakan untuk memudahkan dalam proses-proses kreativitas? Mungkin ada banyak pendapat yang menyatakan bahwa tahap 1-2 dari taksonomi Bloom belum membutuhkan kreativitas? Dan kreativitas hanya ada dalam tahap 6: menciptakan? Sehingga desain awal sistem harus berada di tahap 6: menciptakan? TETAPI menurut pandangan saya pribadi (masih dapat diperdebatkan) bahwa kreativitas HARUS ada dalam semua tahap 1-6 dari taksonomi Bloom itu. Bayangkan seorang pembelajar pemula yang TIDAK kreatif, maka akan sulit sekali memahami suatu ilmu pengetahuan (tahap 1-2). Jika ia kesulitan belajar dalam tahap 1-2, bagaimana mungkin dia akan MAMPU melewati tahap 3, 4, 5, dan 6 itu? INISIATIF saya berpindah dari mempelajari bidang ilmu peternakan (sarjana peternakan) ke bidang ilmu teknik sistem dan manajemen industri (doktor teknik sistem dan manajemen industri) TIDAK MUNGKIN akan SUCCESS seperti sekarang ini, jika saya masih memiliki sifat-sifat penghambat seperti: TIDAK KREATIF, TAKUT SALAH, TAKUT DISEBUT NGAWUR, DLL.

Tentang pentingnya faktor KREATIVITAS bagi seorang praktisi manajemen sistem dan bagaimana keterkaitan dengan INOVASI akan saya bahas kemudian setelah klarifikasi terhadap penjelasan ngawur saya tentang memahami manajemen sistem menggunakan taksonomi Bloom.

Catatan: taxonomi Bloom juga banyak dikritik orang para pakar, TETAPI jika kita takut disebut ngawur (takut salah, dll), maka kita tidak akan maju-maju.

 

Teringat saya dahulu ketika masih menjadi sopir angkutan kota (bemo) di Kupang NTT, mungkin masih terjadi sampai sekarang di Kupang, bahwa sebutan untuk angkutan kota adalah BEMO. Tahukah kita bahwa BEMO berasal dari singkatan: Becak Motor (sejenis angkutan umum beroda tiga)? Apakah gara-gara SALAH penyebutan nama angkutan kota dengan BEMO di Kupang, lalu saya sebagai seorang ahli tata bahasa Indonesia yang 100% selalu menggunakan bahasa Indonesia TANPA salah akan menyatakan: ah saya tidak mau naik angkutan kota bernama BEMO (beroda empat, seharusnya beroda tiga), karena menurut terminologi bahasa Indonesia yang benar, kata BEMO (Becak Motor) itu adalah jenis angkutan umum lain yang beroda tiga.

Dahulu sebagai sopir “BEMO” di Kupang saya juga tertawa dalam hati ketika kondektur sering disebut KONJAK. Tahukah kita bahwa KONJAK = Kondektur Jakarta? He he banyak KONJAK ada di Kupang.

Analogi ngawur ini juga boleh dijadikan bahan refleksi.


Bagi mereka yang senang hal-hal praktek dan TIDAK takut SALAH bisa membaca buku: Creativity and Innovation for Managers berikut:
http://gen.lib.rus.ec/book/index.php?md5=ae70f2e1534d61e5c27b68527616a939

Berdasarkan pendekatan sistem: Input – Process – Output, maka CREATIVITY adalah berkaitan dengan ide-ide KREATIF (seringkali termasuk ide-ide NGAWUR) yang merupakan INPUT itu akan diproses agar menjadi INNOVATION (output dari ide-ide kreatif). CREATIVITY merupakan syarat perlu, TETAPI belum merupakan syarat CUKUP apabila ide-ide kreatif itu tidak diterapkan (diproses) untuk menghasilkan output berupa INNOVATION. Itu makanya manajemen sistem selalu menggunakan feedback berupa: continual imporovement and innovation agar sistem bisa ditingkatkan atau diperbaiki terus-menerus sehingga menjadi: better, faster, cheaper, stronger, smarter, dll.


Dengan cara-cara berpikir ngawur, saya setelah membaca Bible dan memahami berbagai ayat kitab suci termasuk seperti: Matius 10:7-8 yaitu: Pergilah dan beritakanlah: Kerajaan Sorga sudah dekat.Sembuhkanlah orang sakit, bangkitkanlah orang mati; tahirkanlah orang kusta; usirlah setan-setan. Kamu telah memperolehnya dengan cuma-cuma, karena itu berikanlah pula dengan cuma-cuma. Kemudian mengumpulkan orang-orang sakit untuk disembuhkan oleh Tuhan dan telah puluhan ribu orang yang memperoleh mujizat Tuhan itu. Banyak orang termasuk isteri saya menyatakan bagaimana kalau tidak terjadi apa-apa dalam kerumunan orang-orang sakit itu! Saya hanya menjawab ah itu bukan masalah saya, jika Tuhan tidak menyembuhkan mereka, maka berarti Tuhan yang akan malu karena firman Tuhan dalam Matius 10:7-8 menjadi tidak berlaku! Agar diketahui segala bentuk ketakutan merupakan keraguan kepada Tuhan yang berarti melanggar ayat 2 Timotius 1:7 karena Tuhan tidak pernah mau bergaul dengan orang-orang penakut. Ternyata aneh juga apa yang saya lakukan dengan modal nekat serta ide-ide ngawur bisa SUCCESS. Puji Tuhan karena sekarang telah bergaul akrab dengan Tuhan.

 

Salam SUCCESS keluar dari perangkap mental: ragu-ragu, takut salah, takut risiko, takut dianggap ngawur, dll.

WordPress Tabs Free Version

Posted in
css.php