2017

Home » Blog » 2017 » Desain dan Implementasi Model Strategik Pembangunan Ekonomi Berbasis Koperasi Yang Memiliki Skala Usaha Ekonomis (Economies of Scale) dan Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope)

07-09-17

Desain dan Implementasi Model Strategik Pembangunan Ekonomi Berbasis Koperasi Yang Memiliki Skala Usaha Ekonomis (Economies of Scale) dan Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope)



  • Bahasa Indonesia
  • English

Oleh: Vincent Gaspersz, Lean Six Sigma Master Black Belt & Certified Management System Lead Specialist

  • APICS (www.apics.org) Certified Fellow in Production and Inventory Management (CFPIM) and Certified Supply Chain Professional (CSCP);
  • International Quality Federation (www.iqf.org) Six Sigma Master Black Belt (SSMBB);
  • ASQ (www.asq.org) Certified Manager of Quality/Organizational Excellence (CMQ/OE), Certified Quality Engineer (CQE), Certified Quality Auditor (CQA), Certified Six Sigma Black Belt (CSSBB), Certified Quality Improvement Associate (CQIA);
  • Registration Accreditation Board (www.exemplarglobal.org) Certified Management System Lead Specialist (CMSLS).

 

Abstrak

Strategi peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat Korea Selatan yang dilakukan melalui koperasi-koperasi yang mengelola bisnis mereka dalam suatu manajemen ke-SISTEM-an industri yang kuat, kapabel, handal, produktif dan berkualitas dapat dijadikan teladan untuk membangun koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope) baik di Indonesia pada umumnya maupun di Nusa Tenggara Timur pada khususnya.

Pendekatan yang cocok untuk memecahkan masalah pembangunan sumber daya manusia di NTT, adalah mengintegrasikan bidang-bidang ekonomi, pendidikan dan pelatihan, serta kesehatan dan gizi secara terpadu (terintegrasi) dalam kerangka pendekatan sektoral (sektor-sektor produksi) dan pendekatan regional (kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan, dan desa-desa) secara utuh sebagai satu sistem perekonomian berbasis koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope).

 

I. Terminologi dan Definisi

  • Pembangunan ekonomi adalah proses di mana suatu bangsa meningkatkan ekonomi, politik, dan kesejahteraan social rakyatnya. Istilah ini telah digunakan oleh ekonom, politisi, dan lainnya selama ini. Modernisasi, terutama industrialisasi adalah istilah-istilah lain yang telah digunakan banyak orang ketika mendiskusikan pembangunan ekonomi. Sedangkan pertumbuhan ekonomi (economic growth) mencakup usaha intervensi kebijakan pemerintah yang bertujuan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan sosial masyarakat melalui pertumbuhan ekonomi yang ditandai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan produk domestik bruto (PDB). Dengan demikian kita dapat menyatakan dalam sistem ekonomi, bahwa pembangunan ekonomi yang merupakan proses dari sistem ekonomi itu akan menghasilkan output berupa pertumbuhan ekonomi (peningkatan produktivitas tenaga kerja dan peningkatan produk domestik bruto).
  • Koperasi (Cooperative) adalah usaha bersama yang dimiliki dan dijalankan secara bersama oleh anggota-anggotanya yang membagi keuntungan atau manfaat. Charles E. Snyder (President and CEO National Cooperative Bank, 2016) menyatakan bahwa koperasi yang berkualitas dan kompetitif harus memenuhi tujuh persyaratan berikut: (1) Bersifat sukarela dan keanggotaan terbuka, (2) Pengendalian oleh anggota-anggota secara demokratis, (3) Partisipasi ekonomi aktif oleh anggota-anggota, (4) Otonomi dan bebas, (5) Memiliki pendidikan, pelatihan dan informasi, (6) Memiliki kerjasama di antara unit-unit koperasi, dan (7) Mempunyai perhatian pada masyarakat.
  • Skala Usaha Ekonomis (Economies of Scale) adalah keunggulan biaya (cost advantages) yang diperoleh satu unit usaha, karena usaha itu beroperasi pada skala output yang memungkinkan dicapainya penurunan biaya per unit output (biaya rata-rata) mencapai minimum. Hal ini disebabkan biaya tetap (fixed costs) akan terdistribusi secara merata sepanjang skala usaha ekonomis itu, sehingga Long Run Average Cost (LRAC) akan minimum. Skala usaha ekonomis ini ada dalam dunia nyata, sehingga setiap unit usaha harus berupaya mendekati atau mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) ini seperti ditunjukan dalam Bagan 1.
  •  

  • Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope) adalah efisiensi yang tercapai karena proses diversifikasi usaha yang muncul ketika bisnis itu saling memadukan atau mengintegrasikan fungsi-fungsi terkait (misalkan fungsi keuangan atau pemasaran dipadukan menjadi satu) atau ketika unit-unit bisnis saling berintegrasi satu sama lain (misalkan output dari satu unit bisnis menjadi input bagi unit bisnis lain dalam keterkaitan proses bisnis, misal: usaha peternakan sapi potong diintegrasikan dengan usaha pengolahan daging sapi menjadi produk daging beku atau lainnya). Proses konglomerasi dalam unit-unit bisnis adalah berupaya mencapai Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope). Penjualan Silang (Cross Selling) berbagai produk sekaligus juga merupakan upaya mencapai Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope), karena penjualan berbagai jenis produk akan lebih menguntungkan dibandingkan penjualan hanya satu produk saja. Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope) juga dapat beroperasi melalui efisiensi distribusi, misalnya kapal pengangkut akan fleksibel dan efisien ketika mengangkut berbagai jenis produk untuk diangkut ke berbagai lokasi dibandingkan hanya mengangkut satu jenis produk ke satu lokasi saja. Contoh Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope) ditunjukan dalam Bagan 2.

 

II. Keberhasilan Pembangunan Ekonomi Melalui Koperasi (Pembelajaran dari Korea Selatan)

Korea Selatan merdeka pada tanggal 15 Agustus 1945 (meskipun baru mulai dirayakan pada 15 Agustus 1948) sedangkan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Mengapa Indonesia harus dibandingkan dengan Korea Selatan, yang tingkat kemajuannya telah jauh melampaui Indonesia? Karena kedua negara ini memulai pembangunan secara bersamaan dan merdeka juga dalam waktu yang hamper bersamaan. Kedua negara ini, Indonesia dan Korea Selatan adalah negara-negara yang jumlah penduduknya miskin ketika memulai pembangunan ekonomi dan industri (perbedaan pada Indonesia kaya akan sumber daya alam vs. Korea Selatan miskin akan sumber daya alam). Namun kedua negara ini berbeda seperti bumi dengan langit pada tahun 2017 ini.

Korea Selatan pada tahun 1960 merupakan negara miskin (pendapatan per kapita USD 79) dengan tanpa sumber daya alam yang memadai, namun melalui penerapan strategi industrialisasi berorientasi ekspor yang ditunjang oleh fokus pembangunan pada sumber daya manusia dalam wadah koperasi secara intensif dan meluas sehingga mampu meningkatkan produktivitas sumber daya manusia nasional Korea Selatan secara dramatis, sehingga telah membawa Korea Selatan pada tahun 2016 telah berpendapatan per kapita USD 25.458,90
(https://tradingeconomics.com/south-korea/gdp-per-capita), naik sekitar 322 kali dalam 56 tahun.

Sedangkan Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah pada tahun 2016 hanya berpendapatan per kapita USD 3.974,10
(https://tradingeconomics.com/indonesia/gdp-per-capita).

Pada tahun 1960-an, Indonesia, Malaysia, dan Korea Selatan memulai pembangunan dengan status sama-sama menjadi negara miskin. Perbedaan pada Indonesia kaya sumber daya alam, Malaysia cukup sumber daya alam, dan Korea Selatan miskin sumber daya alam. Namun dalam pembangunan karena faktor pertumbuhan produktivitas sumber daya manusia yang luar biasa telah membawa Korea Selatan menjadi negara berpendapatan tinggi, sedangkan Indonesia menjadi negara berpendapatan menengah. Analisis oleh Vincent Gaspersz (2014) menunjukkan bahwa faktor yang membawa kesejahteraan masyarakat suatu negara tergantung pada peningkatan produktivitas sumber daya manusia, BUKAN kepemilikan sumber daya alam. Produktivitas sumber daya manusia Korea Selatan (tertinggi), Malaysia (sedang), dan Indonesia (rendah) selama periode pembangunan ekonomi tahun 1967-2012 ditunjukan dalam Bagan 3.


 

Bank Dunia mengklasifikasikan negara-negara di dunia sebagai berikut:

  • Negara berpendapatan rendah memiliki pendapatan per kapita US$975 atau kurang;
  • Negara berpendapatan menengah bawah memiliki pendapatan per kapita dari US$976 sampai US$3.855.
  • Negara berpendapatan menengah atas memiliki pendapatan per kapita dari US$3.856 sampai US$11.905.
  • Negara berpendapatan tinggi memiliki pendapatan per kapita lebih dari US$11.906.

Indonesia yang memiliki sumber daya alam berlimpah pada tahun 2012 hanya menghasilkan Produksi Nasional (Produk Nasional Bruto = GNP/Gross National Product) sebesar USD 844 Milyar, sedangkan Korea Selatan yang miskin sumber daya alam mampu menghasilkan Produksi Nasional (Produk Nasional Bruto = GNP) USD 1,133 Milyar (USD 1,13 Trilyun) atau sekitar 1,34 kali dari GNP Indonesia.

Persentase penduduk miskin di Korea Selatan yang berpenghasilan <= USD 2,5/hari = 0%, demikian pula persentase penduduk miskin berpendapatan USD10/hari adalah nol persen.

Melihat lebih jauh tentang pembangunan kesehatan di Korea Selatan, berdasarkan data Bank Dunia (2014), tingkat kematian bayi (di bawah lima tahun) di Korea Selatan adalah 5/1000 kelahiran, sedangkan di Indonesia adalah 32/1000 kelahiran. Angka kematian ibu melahirkan, di Korea Selatan: 16/100.000, sedangkan di Indonesia 220/100.000. Umur harapan hidup di Korea Selatan 81 tahun, sedangkan di Indonesia 71 tahun.

Bagaimana dengan pembangunan pendidikan di Korea Selatan vs. Indonesia? Data Bank Dunia (2014) menunjukkan persentase penduduk yang memperoleh pendidikan tinggi di Korea Selatan 17,9% sedangkan Indonesia hanya 1,17%.Persentase penduduk berpendidikan menengah di Korea Selatan 36,8% sedangkan di Indonesia hanya 11,1%.

Tentang tingkat tabungan penduduk di Korea Selatan vs. Indonesia adalah: persentase jumlah penduduk yang menabung di Korea Selatan adalah 46,9%; sedangkan di Indonesia hanya 15,3%.

Lebih jauh jika dikaji angka indeks Worldwide Governance Indicators Average (WGIA) di Korea Selatan sebesar +0,76 (positif) sedangkan di Indonesia -0,46 (minus).Bank Dunia menyusun WGIA berdasarkan enam indikator kunci yang menghasilkan angka indeks dari minus 2,5 (terburuk) sampai positif 2,5 (terbaik). Keenam indikator kunci itu adalah: (1) Demokrasi dan Akuntabilitas, (2) Kestabilan Politik dan Ketiadaan Kekerasan, (3) Efektivitas Pemerintahan, (4) Kualitas Peraturan, (5) Penegakan Hukum, dan (6) Pengendalian Korupsi.

Berdasarkan data Bank Dunia (2014) diketahui bahwa indeks WGIA dari Indonesia sebesar -0,46 (minus 0,46) adalah hampir sama dengan Negara-negara Filipina (-0,49), Mali (-0,49), Boznia & Herzegovina (-0,43), dan Tanzania (-0.36).

Negara-negara yang memiliki WGIA Index terburuk adalah: Somalia (-2,30), Afghanistan (-1,75), Sudan (-1,60), Zimbabwe (-1,47), dan Irak (-1,34). Sedangkan Negara-negara yang memiliki WGIA Index terbaik adalah: Denmark (+1,86), Finlandia (+1,85), New Zealand (+1,83), Sweden (+1,80), Switzerland (+1,71), Belanda (+1,71),Norwegia (+1,70), Australia (+1,63), Canada (+1,62), Singapore (+1,47), dan Jerman (+1,42).

Mengapa Korea Selatan bisa maju sangat pesat dibandingkan Indonesia? Ternyata strategi pembangunan ekonomi melalui koperasi yang memiliki skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope) beserta program Gerakan Masyarakat Baru berikut yang memajukan Korea Selatan.

 

III.1 Koperasi Pertanian (NACF) di Korea Selatan

Korea Selatan memulai pembangunan melalui melakukan Land Reform secara besar-besaran, kemudian mendirikan koperasi pertanian (National Agricultural Cooperative Federation) pada 15 Agustus 1961. Jika kita mendengar kata koperasi di Korea Selatan, jangan membayangkan seperti koperasi di Indonesia yang juga selalu menghadapi masalah mis-management dan ketidakpercayaan dari masyarakat terhadap koperasi, karena koperasi masih diperlakukan sebagai usaha kecil menengah (UKM).

Jumlah koperasi di Korea Selatan pada Februari 2012 memiliki 1.167 cabang utama beserta 3.306 unit koperasi. Jumlah Koperasi Regional (968 buah); Koperasi Komoditas Pertanian untuk buah-buahan (25 buah), sayur-sayuran (17 buah), hortikultura (3 buah); Koperasi Peternakan Regional (118 buah); Koperasi Susu (13 buah), Koperasi Babi (7 buah), Koperasi Unggas (2 buah), Koperasi Pemeliharaan Lebah (1 buah), Koperasi Kelinci dan Rusa (1 buah); dan Koperasi Komoditas Ginseng (12 buah).

Koperasi Pertanian (NACF) Korea Selatan memiliki lini bisnis: perbankan dan asuransi, pemasok dan pemasaran pertanian, pemasok dan pemasaran peternakan, jasa-jasa pelayanan, yang memiliki anggota pada tahun 2011 sebanyak 2,446,836 orang petani dan associate members sebanyak 15,262,611 orang.

Selanjutnya koperasi-koperasi di Korea Selatan jangan dibayangkan seperti Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia, karena omzet penjualan dari koperasi-koperasi itu melebihi konglomerat-konglomerat di Indonesia. Sebagai perbandingan pada tahun 2014, omzet dari NACF adalah USD 63.76 Milyar atau setara dengan +/- Rp. 848 Trilyun, termasuk nomor 1 di dunia untuk koperasi dalam sektor pertanian dan industri makanan.

Bandingkan dengan omzet penjualan dari perusahaan konglomerat Korea Selatan Samsung & LG Electronics pada 2014 adalah berturut-turut sekitar USD 195,88 Milyar (+/-Rp. 2.605 Trilyun) dan USD 55,91 Milyar (+/-Rp. 744 Trilyun). Hal ini berarti penjualan dari Koperasi Pertanian Korea Selatan pada tahun 2014 adalah sekitar 114 persen daripada penjualan LG Electronics atau sekitar 32,6 persen daripada penjualan Samsung pada tahun 2014.

Jika kita melihat cadangan devisa Indonesia per Desember 2014 yang hanya sekitar USD 100,7 Milyar (+/- Rp. 1.339 Trilyun) dan total ekspormigas dan non-migas Indonesia pada tahun 2014 yang hanya sekitar USD 176,29 Milyar (+/- Rp. 2.345 Trilyun), maka tampak bahwa total ekspor Indonesia pada tahun 2014 lebih rendah (hanya sekitar 70 persen) daripada penjualan dua perusahaan raksasa Korea Selatan (Samsung & LG) yang mencapai sekitar USD 251,79 Milyar (+/- Rp. 3.349 Trilyun). Atau jika dibandingkan dengan penjualan dari Koperasi Pertanian Korea Selatan pada tahun 2014 yang sekitar USD 63,78 Milyar (+/- Rp. 848 Triliun), maka penjualan dari koperasi pertanian Korea Selatan adalah sama dengan 36,2 persen dari total ekspor migas dan non migas Indonesia pada tahun 2014.

Daftar 20 koperasi top di dunia dalam sector pertanian dan industri makanan tahun 2014 ditunjukkan dalam Tabel 1.


 

Perhatian pemerintah pada koperasi-koperasi di Korea Selatan sangat besar, karena koperasi-koperasi itu yang memberikan kontribusi signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pendapatan masyarakat Korea Selatan. Hubungan antara Presiden, Menteri Pertanian dan Perikanan, serta Koperasi Pertanian di Korea Selatan sangat jelas dan terstruktur mulai dari pusat perkotaan sampai ke desa-desa. Pemerintah Korea Selatan TIDAK MENGATUR koperasi-koperasi di Korea Selatan, manajemen dilakukan secara profesional dan digerakkan sebagai unit bisnis mandiri seperti ditunjukkan dalam Bagan 2. Jika sistem pemasaran pertanian di Indonesia masih mempertahankan sistem tradisional dengan rantai pemasaran yang panjang, yaitu: Petani (Produsen) – Pedagang Pengumpul (Tengkulak) – Pengirim (Tengkulak) – Pedagang Besar – Pedagang Eceran – Konsumen; maka di Korea Selatan melalui koperasi-koperasi pertanian telah memperpendek rantai pemasaran yaitu: Petani (Koperasi Petani Produsen) – Agriculture Proccesing Centers (Koperasi-koperasi pertanian) – Agriculture Marketing Complexes (Supermarket yang dimiliki Koperasi Pertanian) – Konsumen.


 

Peranan Koperasi Pertanian untuk memajukan perekonomian Korea Selatan ditunjukan dalam Bagan 3, sedangkan contoh integrasi koperasi peternakan dengan koperasi pertanian (induk) ditunjukan dalam Bagan 4.


 

 

Berbagai fasilitas yang dimiliki oleh Koperasi Pertanian di Korea Selatan pada tahun 2011 ditunjukan dalam Tabel 2.


 

Koperasi Pertanian di Korea Selatan menguasai dan mempraktekan Total Agricultural Supply Chain Management seperti ditunjukan dalam Bagan 5.


 

III.2 Gerakan Masyarakat Baru Korea Selatan (Saemaul)

Gerakan Masyarakat Baru (GMB) di Korea Selatan disebut Saemaul. Saemaul yang terdiri dari “Sae” dan “Maul” adalah kombinasi dari dua kata korea yang berarti: Sae (Baru atau Pembaruan) dan Maul (Komunitas), yang berarti Komunitas/Masyarakat Baru atau Pembaruan Komunitas/Masyarakat. Gerakan Masyarakat Baru di Korea Selatan diperkenalkan pada 22 April 1970 oleh Presiden Korea Selatan Park Chung Hee, dan masih berjalan sampai sekarang. Pertama kali Gerakan Masyarakat Baru (GMB) di Korea Selatan ini dimaksudkan untuk memodernisasikan ekonomi pedesaan Korea Selatan berbasiskan pengaturan mandiri (self-governance) melalui koperasi-koperasi pedesaan (semacam Koperasi Unit Desa-KUD di Indonesia, kecuali manajemen yang berbeda sama sekali). Jika koperasi-koperasi di Indonesia dikelola secara parsial, maka koperasi-koperasi di Korea Selatan dikelola secara bisnis terintegrasi (integrated business) dalam kerangka sistem industri Agricultural Lean Supply Chain Management yang sangat efisien, produktif, dan berkualitas, sejak dari industri hulu-on farm-sampai industri hilir. Aktivitas seperti pembibitan, produksi pertanian, agro industry, sampai pemasaran hasil-hasil pertanian dilakukan sepenuhnya oleh Koperasi Pertanian (National Agricultural Cooperative Federation) secara bisnis terintegrasi.

GMB berusaha untuk memperbaiki kesenjangan standar hidup antara daerah perkotaan, yang cepat berkembang karena penerapan strategi industrialisasi berorientasi ekspor, dan desa-desa kecil, yang terus terperosok dalam kemiskinan. Kolaborasi melalui koperasi-koperasi pedesaan terus-menerus mendorong anggota masyarakat terutama di daerah pedesaan (termasuk di perkotaan) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi dan industri Korea Selatan.

Tahap awal dari GMB difokuskan pada peningkatan kondisi kehidupan dasar dan lingkungan melalui berbagai proyek-proyek yang berkonsentrasi pada pembangunan infrastruktur pedesaan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan itu.

Model GMB yang melibatkan koperasi-koperasi di Korea Selatan ditunjukan dalam Bagan 6.


 

Di samping permodalan dan dukungan Pendidikan, pelatihan, dan sistem informasi manajemen (lihat Bagan 6 tentang Saemaul Cycle), pemerintah Korea Selatan juga membantu sistem administrasi koperasi yang terdiri dari 14 item berikut secara GRATIS:

  1. Buku Bank
  2. Deskripsi Umum Desa dan Kekayaan Desa
  3. Rencana Bisnis
  4. Buku Kas
  5. Catatan daftar material yang diterima koperasi
  6. Dokumen anggaran pengeluaran/pembelanjaan
  7. Daftar tagihan pihak ketiga kepada koperasi
  8. Catatan upah di desa
  9. Minutes of meeting selama periode satu tahun
  10. Peraturan-peraturan dan ketentuan dari Saemaul (Gerakan Masyarakat Baru)
  11. Album foto-foto kegiatan
  12. Catatan kemajuan kerja
  13. Catatan daftar karyawan/pekerja/anggota-anggota koperasi
  14. Rencana pemeliharaan hewan atau aktivitas sesuai bidang usaha dari koperasi, dll.

CATATAN: dukungan dari pemerintah ini HANYA untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam pembangunan SDM Desa, TETAPI urusan bisnis, dll yang terkait dengan unit usaha akan bekerja sama dengan koperasi-koperasi lain yang mengacu kepada hubungan sinergitas yang saling menguntungkan dengan konglomerat koperasi NACF (National Agricultural Cooperatives Federation) yang menguasai pasar dari hulu sampai ke hilir seperti ditunjukan dalam Bagan 5 (lihat Bagan 5).

 

GMB telah diadopsi oleh PBB sebagai salah satu model pembangunan pedesaan yang paling EFISIEN di dunia. Komisi Ekonomi untuk Afrika (Economic Commision for Africa = ECA) telah memutuskan untuk memilih GMB sebagai model dasar untuk Program Modernisasi Pertanian Berkelanjutan dan Transformasi Pedesaan (SMART = Sustainable Modernization of Agriculture and Rural Transformation) pada tahun 2008. Selain itu, GMB ini telah diekspor ke lebih dari 70 negara untuk berbagi pengalaman pembangunan pedesaan di seluruh dunia. Indonesia seyogianya meniru GMB di Korea Selatan, karena pembangunan ekonomi melalui koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope) merupakan perwujudan dari implementasi Pasal 33 UUD 1945.

Jika implementasi pasal 33 UUD 1945 model Korea Selatan di atas diterapkan di Indonesia, apalagi ditambah KOMITMEN pemerintah untuk menerapkan Good Government Governance mengikuti standar Internasional ISO 9001 yang telah didesain oleh penulis (lihat Bagan 7), maka penulis yakin bahwa Indonesia akan mampu mengejar ketertinggalannya dari Korea Selatan yang memulai pembanguan bersamaan dengan Indonesia.


 

IV. Strategi Membangun Perekonomian NTT Melalui Koperasi-koperasi Yang Mencapai Skala Usaha Ekonomis (Economies of Scale) dan Ruang Lingkup Ekonomis (Economies of Scope)

Pembangunan ekonomi NTT akan maju dan berkembang apabila menekankan pada pembangunan sumber daya manusia melalui wadah koperasi-koperasi yang memenuhi skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope). Model pembangunan sumber daya manusia NTT ditunjukan dalam Bagan 8.


 

Penjelasan Model Pembangunan Sumber Daya Manusia di Nusa Tenggara Timur:

  • Pendekatan yang cocok untuk memecahkan masalah pembangunan sumber daya manusia di NTT, adalah mengintegrasikan bidang-bidang ekonomi, pendidikan dan pelatihan, serta kesehatan dan gizi secara terpadu (terintegrasi) dalam kerangka pendekatan sektoral (sektor-sektor produksi) dan pendekatan regional (kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan, dan desa-desa) secara utuh sebagai satu system perekonomian berbasis koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope).
  • Kedua pendekatan ini, sektoral dan regional harus diterapkan secara bersama. Dengan demikian model desain, perencanaan, implementasi, pengendalian, dan peningkatan terus-menerus pembangunan di Nusa Tenggara Timur HARUS selalu mengaitkan dimensi sektoral (sektor-sektor produksi) dengan dimensi spasial/ruang (kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan, dan desa-desa).
  • Semua kebijakan PEMDA (Pemerintah Daerah) NTT HARUS berorientasi pada peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, pendidikan dan pelatihan masyarakat, serta kesehatan dan gizi masyarakat secara terintegrasi dan terpadu dalam kerangka pendekatan pembangunan sektoral dan regional di atas dalam wadah koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis.
  • Berkaitan dengan kebijakan peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat, maka HARUS ditumbuhkembangkan perekonomian regional melalui memprioritaskan pengembangan sektor-sektor produksi yang memiliki dampak pengganda pendapatan (income multiplier effect) dan kesempatan kerja terbesar (employment multiplier effect). Semua sektor-sektor produksi yang memiliki karakteristik pengganda pendapatan dan kesempatan kerja ini diakomodasikan ke dalam wadah koperasi-koperasi yang memenuhi skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis.
  • Berkaitan dengan kebijakan pendidikan dan pelatihan HARUS diarahkan agar sistem pendidikan dan pelatihan mampu memberikan pengetahuan dan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja lokal, nasional maupun internasional.
  • Berkaitan dengan kebijakan kesehatan dan gizi HARUS memberdayakan masyarakat agar memelihara lingkungan hidup yang sehat dan bersahabat dengan alam sehingga mempertimbangkan sistem manajemen lingkungan yang berkelanjutan. Program-program pembangunan sumber daya manusia HARUS berkaitan dan bersinergi dengan aspek lingkungan di mana masyarakat itu berada sesuai dengan potensi wilayah dalam sektor-sektor produksi yang tergabung dalam sistem perekonomian wilayah berbasis koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis.

Model Strategi SUCCESS membangun NTT selalu mengaitkan integrasi tiga pihak, yaitu: (1) lembaga Pendidikan dan pelatihan, (2) lembaga keuangan dan perbankan, dan (3) koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis sebagai ujung tombak pengembangan perekonomian rakyat NTT. Pemerintah dan DPRD merupakan fasilitator yang mempercepat integrasi ketiga pihak ini seperti ditunjukan dalam Bagan 9.


 

Perlu diperhatikan bahwa koperasi-koperasi yang dimaksudkan dalam Bagan 3 di atas, adalah koperasi-koperasi yang telah mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis agar koperasi-koperasi itu mampu bersaing di pasar. Di samping itu perlu dipertimbangkan untuk melakukan proses konglomerasi koperasi-koperasi, sehingga mampu mencapai ruang lingkup ekonomis seperti koperasi-koperasi di Korea Selatan. Agar diketahui bahwa meskipun jumlah koperasi di NTT cukup banyak, tetapi koperasi-koperasi itu tidak mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis, yang berarti koperasi-koperasi yang ada merupakan koperasi usaha kecil yang tidak ekonomis.


 

Bagi profesional bisnis: Opportunity is NOWHERE (Kesempatan Tidak Ada Di mana-mana) SELALU dibaca Opportunity is NOW HERE (Kesempatan Ada Di sini Sekarang).

Hasil analisis tentang komoditas pangan yang sangat penting, yaitu BERAS di Provinsi Nusa Tenggara Timur seperti ditunjukan dalam Tabel 4, memunculkan Kesempatan Bisnis Beras yang terbuka lebar bagi Koperasi Konsumsi dan Koperasi Distribusi di Provinsi NTT.

Dengan cara analisis yang sama terhadap berbagai komoditas penting seperti: daging sapi, daging ayam, dll akan memunculkan kesempatan bisnis (Business Opportunity) bagi koperasi-koperasi di NTT untuk mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope).

Dari Tabel 4 juga menimbulkan pertanyaan REFLEKSI tentang apa peranan lembaga Pendidikan pertanian di NTT yang “TIDAK MAMPU” meningkatkan produksi pangan lokal (beras) ini, sehingga kontribusi pada pengadaan beras yang berasal dari produksi lokal pada tahun 2016 HANYA sekitar 1,6% (satu koma enam persen) saja?


 

Berbagai pemikiran di atas akan MAMPU meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) NTT secara signifikan dibandingkan IPM NTT pada saat sekarang. Indeks Pembangunan Manusia diukur berdasarkan komponen-komponen: kesehatan (umur harapan hidup), komponen pendidikan (angka melek huruf dan lama sekolah), dan komponen pendapatan ekonomi (pengeluaran yang disesuaikan). Indeks Pembangunan Manusia NTT periode 2012-2016 ditunjukan dalam Tabel 5. Sedangkan ketimpangan pembangunan sumber daya manusia di antara kabupaten dan kota di dalam Provinsi NTT ditunjukan dalam Tabel 6.


 

Jika kita melihat IPM Provinsi NTT tahun 2016 sebesar 63,13 kemudian membandingkan dengan IPM Kabupaten/Kota di dalam Provinsi NTT, maka HANYA ada lima kabupaten dan kota yang memiliki IPM di atas rata-rata NTT, yaitu: (1) Kota Kupang (78,14), (2) Ende (65,74), (3) Ngada (65,61), (4) Nagekeo (63,93), dan (5) Sumba Timur (63,22). 17 kabupaten memiliki IPM yang lebih rendah daripada IPM NTT (lihat Tabel 6).


 

V. Sekilas Tentang Kinerja Koperasi dan Industri di DI Yogyakarta

Meskipun perkembangan koperasi-koperasi di DI Yogyakarta belum sebaik dibandingkan perkembangan koperasi-koperasi di Korea Selatan tetapi perkembangan koperasi dan industri kecil di DI Yogyakarta ini sangat membantu dalam peningkatan ekonomi masyarakat sehingga mampu meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) DI Yogyakarta untuk mencapai ranking nomor dua di Indonesia. Bagaimanapun konglomerasi koperasi telah ada di Pekalongan, Jawa Tengah, di mana Kospin (Koperasi Simpan Pinjam) Jasa Pekalongan telah mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis karena telah memiliki asset sekitar Rp. 7 Triliun pada tahun 2016 dengan jumlah anggota koperasi sebanyak 18.375 orang, atau rata-rata asset per anggota adalah Rp. 380.952.381. (lihat: https://ekbis.sindonews.com/read/1189554/34/aset-kospin-jasa-mencapai-rp7-triliun-1489828190)

Beberapa indikator kinerja koperasi dan industri kecil di Yogyakarta pada tahun 2016 ditunjukan dalam Tabel 7.


 

Meskipun pada tahun 2016 pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah 5,18% lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi DI Yogyakarta yang hanya 5,05% TETAPI berbagai indikator kinerja pendidikan dan ekonomi DI Yogyakarta lebih unggul daripada Provinsi Nusa Tenggara Timur seperti ditunjukan dalam Tabel 8.

Hal yang menarik dari Tabel 8 adalah memunculkan kesempatan bisnis untuk mendirikan koperasi-koperasi pertanian yang mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis sehingga mampu meningkatkan nilai tukar petani seperti yang dilakukan pada koperasi-koperasi pertanian di DI Yogyakarta. Di samping itu peluang mendirikan koperasi-koperasi konsumsi yang layak secara ekonomis, sehingga memunculkan kesempatan kepada anggota-anggota koperasi konsumsi yang mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis agar di samping melakukan konsumsi juga memperoleh pendapatan dari aktivitas konsumsi itu.


 

VI. Kesimpulan dan Rekomendasi Manajemen

Strategi peningkatan dan pemerataan pendapatan masyarakat Korea Selatan yang dilakukan melalui koperasi-koperasi yang mengelola bisnis mereka dalam suatu manajemen ke-SISTEM-an industri yang kuat, kapabel, handal, produktif dan berkualitas dapat dijadikan teladan untuk membangun koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope) baik di Indonesia pada umumnya maupun di Nusa Tenggara Timur pada khususnya.

Agricultural Lean Supply Chain Management di Korea Selatan yang dilakukan melalui koperasi-koperasi pertanian yang memenuhi skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis mulai dari pedesaan sampai perkotaan telah mensejahterakan petani-petani dan tenaga kerja yang terlibat dalam sektor-sektor industri hulu sampai hilir. Sesungguhnya sistem perkoperasian serta model pembangunan di Korea Selatan ini yang sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, sehingga meskipun Korea Selatan tidak memiliki UUD 1945 tetapi mereka jauh lebih maju dari kita di Indonesia. Pembuat kebijakan pembangunan ekonomi dan industri serta pembangunan sumber daya manusia di Indonesia HARUS belajar pada keberhasilan Korea Selatan, sebuah Negara yang sangat miskin pada tahun 1960-1970 TELAH bertransformasi menjadi Negara maju berproduktivitas dan berpendapatan tinggi di Asia.

Pendekatan yang cocok untuk memecahkan masalah pembangunan sumber daya manusia di NTT, adalah mengintegrasikan bidang-bidang ekonomi, pendidikan dan pelatihan, serta kesehatan dan gizi secara terpadu (terintegrasi) dalam kerangka pendekatan sektoral (sektor-sektor produksi) dan pendekatan regional (kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan, dan desa-desa) secara utuh sebagai satu sistem perekonomian berbasis koperasi-koperasi yang mencapai skala usaha ekonomis (economies of scale) dan ruang lingkup ekonomis (economies of scope).

Kedua pendekatan ini, sektoral dan regional harus diterapkan secara bersama. Dengan demikian model desain, perencanaan, implementasi, pengendalian, dan peningkatan terus-menerus pembangunan di Nusa Tenggara Timur HARUS selalu mengaitkan dimensi sektoral (sektor-sektor produksi) dengan dimensi spasial/ruang (kabupaten-kabupaten, kecamatan-kecamatan, dan desa-desa).

Hasil analisis terhadap indikator kinerja memunculkan kesempatan bisnis untuk mendirikan koperasi-koperasi pertanian (koperasi produksi pertanian) di Nusa Tenggara Timur yang mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis sehingga mampu meningkatkan nilai tukar petani seperti yang dilakukan pada koperasi-koperasi pertanian di DI Yogyakarta. Di samping itu peluang mendirikan koperasi-koperasi konsumsi yang layak secara ekonomis, sehingga memunculkan kesempatan kepada anggota-anggota koperasi konsumsi yang mencapai skala usaha ekonomis dan ruang lingkup ekonomis agar di samping melakukan konsumsi juga memperoleh pendapatan dari aktivitas konsumsi itu. Pada akhirnya akan terbentuk konglomerasi koperasi seperti Kospin (koperasi simpan pinjam) Jasa Pekalongan yang pada tahun 2016 telahmemiliki asset senilai Rp. 7 Triliun dengan jumlah anggota sebanyak 18.375 orang atau rata-rata asset per anggota sebesar Rp. 380.952.381.

 

Salam SUCCESS.

 

VII. Daftar Pustaka

  • Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2017. Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Angka 2017.
  • Badan Pusat Statistik Provinsi DI Yogyakarta. 2017. Provinsi DI Yogyakarta dalam Angka 2017.
  • Gaspersz, Vincent., 2011. Ekonomi Manajerial (Managerial Economics), Landasan Analisis dan Startegi Bisnis untuk Manajemen Perusahaan dan Industri. Tri-Al Bros, Bogor.
  • Gaspersz, Vincent, 2013. All-in-one 150 Key Performance Indicators and Balanced Scorecard, Malcolm Baldrige, Lean Six Sigma Supply Chain Management. Tri-Al Bros, Bogor.
  • Hugos, M. (2003). Essentials of Supply Chain Management. E-Book Edition, John Wiley and Sons, Inc., New Jersey.
  • Kaplan, R.S. and David P. Norton. 1996. The Balanced Scorecard—Translating Strategy into Action. Harvard Business School Press, Massachusetts.
  • Keel, J., Albert Hawkins, and Lawrence F. Alwin. 1999. Guide to Performance Measurement Management. Governor’s Office of Budget and Planning, USA.
  • Lee, Joong Hwa, Jose Arturo Garza-Reyes, Vikas Kumar, Luis Rocha Lona, and Nishikant Mishra. (2013). A Comparative Study of the Implementation Status of Lean Six Sigma in South Korea and the UK. 23rd International Conference on Flexible Automation and Intelligent Manufacturing. Vol 1., Springer International Publishing, Switzerland.
  • Sandiford, F. and George Ed Rossmiller. (1996). Many a Slip: Studying Policy Delivery Systems. Paper presented at the Agricultural Economics Society Conference, University of Newcastle-upon-Tyne, 27-30 March 1996.
  • Young-Kon, Koh. (2013). An Integrated Value Chain Finance in Agriculture: Experience of Agriculture Cooperative in Korea. Paper presented at the Policy Dialogue Forum on Value Chain Finance in Agriculture, Sep 3-5, 2013, Kathmandu, Nepal.
  • World Bank. (2014). 2014 World Development Indicators. The World Bank, Washington DC.
  • http://bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23&notab=7
  • Website NACF: http://www.nonghyup.com/eng/main/main.aspx
    http://en.wikipedia.org/wiki/National_Agricultural_Cooperative_Federation
  • http://news.okezone.com: Profil Koperasi-koperasi Kelas Dunia, 2009.
  • https://ekbis.sindonews.com/read/1189554/34/aset-kospin-jasa-mencapai-rp7-triliun-1489828190

 


TENTANG Penulis/Pemakalah

Prof. Dr(Eng). Ir. Vincent Gaspersz, M.St, D.Sc, adalah Ahli Teknik Sistem dan Manajemen Industri, Lean Six Sigma Master Black Belt and Certified Management System Lead Specialist.

Ia meraih gelar Sarjana Peternakan (Ir.) dari Universitas Nusa Cendana Kupang, 1979, Magister Sains dalam bidang Statistika Terapan (Master of Science in Applied Statistics) dengan pilihan penerapan pada ekonomi dan perencanaan wilayah dari IPB Bogor dalam waktu kurang dari dua tahun pada tahun 1985. Kemudian ia memperoleh dua gelar Doktor (Dr. dan D.Sc.), yang pertama adalah Doktor dalam bidang Teknik Sistem dan Manajemen Industri dengan meraih indeks prestasi tertinggi IP = 4,0 dari ITB Bandung dalam waktu tiga tahun pada tahun 1991, kemudian yang kedua adalah Doctor of Science in Management of Engineering and Technology dari Southern California University for Professional Studies dengan predikat Summa Cum Laude (GPA = 4.0) pada tahun 2000.

Prof. Vincent Gaspersz memperoleh tiga gelar professional dalam bidang-bidang: Production, Inventory, and Supply Chain Management dari the American Production and Inventory Society (CFPIM = Certified Fellow in Production and Inventory Management, CPIM = Certified in Production Management, CSCP = Certified Supply Chain Professional). Memperoleh lima gelar professional dalam bidang Quality Management dari the American Society for Quality (CMQ/OE = Certified Manager of Quality/Organizational Excellence, CSSBB = Certified Six Sigma Black Belt, CQE = Certified Quality Engineer, CQA = Certified Quality Auditor, CQIA = Certified Quality Improvement Associate). Dua gelar professional dari Registration Accreditation Board USA (CMSS = Certified Management System Specialist, CMSLS = Certified Management System Lead Specialist).

Prof. Vincent Gaspersz telah berpangalaman lebih 26 tahun (sejak 1991) sebagai Designer and Implementer of Integrated Management Systems. Ia telah mempublikasikan 47 buku-buku teks dalam bidang ilmu Ekonomi Manajerial dan Sistem-sistem Manajemen Modern.

WordPress Tabs Free Version

Posted in
css.php